Kehidupan
elit politik di era reformasi politik memasuki zaman edan. Irama
perpolitikan nasional tdk patut diconto oleh anak" kita. Pertengkaran
sesama anak bangsa, terutama elite politik dan penguasa, tidak kunjung selesai.
Pertengkaran di tubuh Golkar, PPP, KPK, Polri, MK dll menunjukkan bukti betapa
parahnya bangsa ini... Masing-masing anak bangsa selalu merasa paling hebat,
paling mampu, paling pintar, dan paling benar sendiri. Para tokoh nasional yang
memimpin negeri ini belum menunjukkan berbagai sosok negarawan karena dalam
memimpin lebih mengutamakan kepentingan politik golongan/kelompok daripada
kepentingan bangsa (rakyat) secara luas. Ini diperparah tdk adanya figur pemersatu
bangsa. Setelah Ir Soekarno dan HM Soeharto, tidak ada tokoh nasional yang
benar-benar bisa mempersatukan bangsa ini. Mungkin perlu muncul satrio piningit
baru Fenomena saling sikut dan budaya menang sendiri menguat sejak era
reformasi yang dimulai dengan diterapkannya UU Otonomi Daerah.Keadaan tsb
diperparah adanya konspirasi global. Ada grand strategy global untuk
menghancurkankeutuhan Indonesia. Ada skenario tingkat tinggi yang ingin
menghancurkan Indonesia atau bahkan menghilangkan nama Indonesia sebagai negara
bangsa. Konspirasi global terus bergerak dan bekerja secara cerdas dengan
menggunakan kekuatan canggih melalui penetrasi budaya, penyesatan opini, arus
investasi, berbagai tema kampanye indah seperti demokratisasi, hak asasi
manusia, kesetaraan gender, modernisasi, kebebasan pers, kemakmuran,
kesejahteraan, sampai pada mimpi-mimpi indah lewat bisnis obat-obatan terlarang
dengan segmen generasi muda.
Penyebab lain Indonesia akan”‘pecah” dalam penilaiannya
adalah faktor nama. Apa yang salah dengan nama? Ternyata, nama Indonesia
sesungguhnya berasal dari warisan kolonial Belanda yakni East-India atau India
Timur alias Hindia Belanda. Kalangan tokoh politik Belanda tingkat atas malah
sering menyebut Indonesia dengan singkatan: In-corporate Do/e-Netherland
in-Asia atau kalau diartikan secara bebas nama Indonesia sama dengan singkatan
Perusahaan Belanda yang berada di Asia. Pemberian nama Indonesia oleh Belanda
memang memiliki agenda politik tersembunyi sebab Belanda tidak rela Indonesia
menjadi bangsa dan negara yang besar. Nama orisinil kawasan negeri ini yang
benar adalah Nusantara, yang berasal dari kata Bahasa Sansekerta Nusa (pulau)
dan Antara. Artinya, negara yang terletak di antara pulau-pulau terbesar dan
terbanyak di dunia sebab negara kita merupakan negara kepulauan terbesar di
dunia. Bila para anak bangsa tahun 2015 mampu menyelamatkan keutuhan negeri ini
sebagai satu bangsa, salah satu opsi adalah dengan penggantian nama dari
Indonesia menjadi Nusantara. Nama Nusantara lebih relevan, orisinil, berasal
dari jiwa bumi sendiri dan lebih membawa keberuntungan. Namun, karena
perpecahan sudah di ujung tanduk, salah satu agenda dalam membangun komitmen
baru sebagai bangsa dalam pandangannya adalah dengan cara (perlu direnungkan)
mengganti nama Indonesia menjadi Nusantara. Karena, nama memiliki arti serta
memberi berkah tersendiri. Tidak hanya nama Indonesia yang bisa menjadi
penyebab negeri ini pecah, nama Jakarta pun ternyata ikut berpengaruh terhadap
keutuhan republik ini.
Nama Jakarta, memiliki konotasi negatif bagi sebagian
besar masyarakat. Bila kita ingin menyelamatkan Indonesia dari ancaman
perpecahan serta punya komitmen bersama untuk membawa negara ini menjadi negara
besar yang dihormati dunia internasional, maka nama ibukota negara seyogianya
dikembalikan kepada nama awalnya yaitu Jayakarta. Nama Jayakarta lebih tepat
sebagai roh spirit Ke-Jaya-an Ibukota negara daripada nama Jakarta, sarannya.
Zaman edan ini diperparah dengan pasca Pilpres tahun 2014
lalu. sejumlah tokoh yang kalah masih mampu mengendalikan diri, tapi gejolak
massa akar rumput yang berasal dari massa pendukung tidak mau menerima
kekalahan jago pilihannya. Mereka lalu mempersiapkan diri untuk maju bertarung
lagi pada Pilpres 2019 yg akan datang.
Saya punya prediksi Pilpres 2019 akan datang adalah puncak
ledakan dashyat gunung es yang benar-benar membahayakan integrasi Indonesia. Pola
siklus 7 abad atau 70 th-an akan berulang.. Kerajaan Sriwijaya yang berkuasa
pada abad 6-7 M di mana waktu itu rakyat di kawasan Nusantara bersatu di bawah
kepemimpinannya. Memasuki usia ke-70 th kerajaan itu mulai buyar & muncul
banyak kerajaan kecil yang mandiri berdaulat. Alhasil, di awal abad ke-9 nama
Kerajaan Sriwijaya hanya tinggal sejarah. Tujuh abad kemudian (abad 13-14 M)
lahir Kerajaan Majapahit di Trowulan, Jawa Timur sekarang. Kerajaan besar itu
berhasil menyatukan kembali penduduk Nusantara. Namun, kerajaan ini pun
bernasib sama dengan Sriwijaya. Memasuki usia ke-70 pengaruhnya mulai hilang
dan bermunculanlah kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara. Nama Majapahit pun
hilang ditelan bumi. Tujuh abad pasca-jatuhnya Majapahit, di tahun 1945 (abad
20) rakyat Nusantara kembali bersatu dalam suatu ikatan negara bangsa bernama
Republik Indonesia (abad 20-21).
Nah.... Pd tahun 2019 nanti akan bertepatan RI merayakan
HUT-nya yang ke-74. Apakah sejarah akan berulang
Agar Indonesia tidak pecah, dia menyerukan seluruh elemen
bangsa untuk bersatu dan bersatu. Dia berharap seluruh bangsa menyadari ancaman
yang ada di depan mata dan kemudian saling bergandengan tangan bersatu untuk
menyelesaikan semua permasalahan bangsa. ini peringatan dini, sebagai salah
satu wujud untuk berupaya menyelamatkan Indonesia dari ancaman kehancuran.
Dengan adanya buku ini diharapkan semoga anak-anak bangsa mulai menyadari bahwa
hantu Indonesia pecah sudah berada di depan mata. Kalau sudah paham, diharapkan
mulai tumbuh kesadaran dari dalam hati lalu secara bersama-sama mengambil
langkah untuk mencegah.
Basic E-Commerce Shopping Cart Plugin to offer computerized/physical items from your wordpress site through PayPal.
BalasHapusWordpress Plugins For Sale